Opini
Masa Depan Suriah: Strategi Amerika Serikat Pasca Kejatuhan Pemerintahan Suriah

Suriah telah lama menjadi pusat perhatian dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Asia Barat. Negara ini memiliki posisi strategis yang sangat penting, terletak di persimpangan wilayah-wilayah yang vital, yang mencakup kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan. Setelah runtuhnya pemerintahan Suriah pada tahun 2024, Amerika Serikat semakin fokus pada peluang untuk membangun pengaruhnya dalam pemerintahan baru yang sedang terbentuk di negara tersebut. Langkah ini dianggap oleh banyak pihak sebagai “kesempatan emas” bagi Washington untuk menetapkan posisi permanennya di Suriah.
Suriah dan Posisi Geopolitiknya
Secara geografis, Suriah berada di pusat Asia Barat, berbatasan dengan sejumlah negara yang memegang peranan penting dalam politik kawasan, seperti Palestina, Irak, Iran, Lebanon, Yordania, dan Turki. Posisi ini menjadikan Suriah sebagai aktor utama dalam membentuk dinamika politik dan keamanan di kawasan tersebut. Salah satu faktor penting dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat adalah keberadaan “Israel” dan upaya untuk menjaga keamanan negara tersebut. Dengan pengaruh besar yang dimilikinya, Amerika Serikat melihat pemerintahan Suriah sebagai elemen kunci dalam memastikan stabilitas dan kemampuan “Israel” untuk menjalankan kebijakan luar negerinya tanpa banyak hambatan.
Bagi AS, mempertahankan hubungan yang baik dengan Suriah sangat penting untuk memperkuat pengaruhnya di wilayah tersebut, terutama dalam menghadapi rivalitas dengan negara-negara seperti Rusia dan Cina yang juga berusaha memanfaatkan posisi Suriah. Selain itu, Suriah juga memainkan peran vital dalam rencana “pengambilalihan” wilayah lainnya yang terkait dengan proyek Zionis dan kontrol regional. Suriah dengan kedekatannya dengan negara-negara yang memiliki perlawanan terhadap kebijakan AS di Timur Tengah menjadi perhatian utama dalam strategi politik Washington.
Sejarah Intervensi Amerika Serikat di Suriah
Upaya untuk melemahkan negara Suriah dimulai sejak awal tahun 2000-an, terutama setelah invasi AS ke Irak pada tahun 2003. Dengan dasar teori “efek domino”, Washington berharap dapat mengubah pemerintahan di Suriah melalui perubahan di negara tetangga, Irak, yang dinilai bisa memengaruhi perlawanan di Lebanon dan Palestina. Meskipun upaya-upaya ini tidak selalu berhasil, terutama dengan kegagalan yang terjadi pada tahun 2006 dan 2007, Amerika Serikat tidak pernah berhenti berusaha mengubah rezim di Suriah.
Selama Musim Semi Arab pada tahun 2011, ketika sejumlah negara Arab mengalami pergolakan politik, Suriah juga turut terdampak. Di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, Amerika Serikat terlibat dalam perang saudara yang berlangsung di Suriah, dengan memberikan dukungan kepada berbagai kelompok oposisi. Pada tahun 2024, dengan kebangkitan kekuatan oposisi, kelompok yang dikenal dengan nama “Hay’at Tahrir Al-Sham” (HTS) berhasil menguasai Damaskus, ibu kota Suriah, yang membuka jalan bagi peran lebih besar Amerika Serikat dalam pemerintahan negara tersebut.
Tujuan Strategis Amerika Serikat di Suriah
Dengan runtuhnya rezim Suriah pada tahun 2024, Amerika Serikat melihat kesempatan untuk membentuk ulang aliansi di kawasan Asia Barat dan mencegah negara-negara pesaing seperti Rusia dan Cina untuk memanfaatkan akses Suriah ke wilayah Mediterania. Salah satu tujuan utama Washington adalah mencegah Suriah menjadi basis bagi kelompok-kelompok terorisme fundamentalis yang bisa mengancam “Israel”. Dalam konteks ini, Suriah dianggap sebagai bagian penting dari stabilitas keamanan bagi Tel Aviv.
Selain itu, pemerintah AS berupaya untuk memisahkan Suriah dari Iran dan mengurangi pengaruh Tehran di negara tersebut. Turki, yang merupakan sekutu NATO dan memiliki peran besar dalam keamanan regional, juga dilibatkan dalam perencanaan bersama dengan AS untuk memastikan stabilitas di Suriah. Namun, hubungan dengan Turki semakin rumit terkait masalah milisi Kurdi yang dianggap sebagai ancaman oleh Ankara, yang berusaha untuk menetralkan mereka.
Kebangkitan HTS dan Hubungannya dengan Amerika Serikat
Salah satu perkembangan signifikan pasca-kejatuhan rezim di Suriah adalah kebangkitan kelompok HTS yang berhasil menguasai Damaskus. Seiring dengan meningkatnya kekuatan HTS, kelompok ini mulai mencari pengakuan internasional dan mendekatkan diri dengan Amerika Serikat. Pemimpin HTS, yang dikenal sebagai Abu Mohammad Al-Joulani atau Ahmad Al-Shara’, mengungkapkan dukungan terbuka terhadap kebijakan Amerika Serikat dengan menargetkan Iran dan Rusia.
Keterlibatan AS dengan HTS ini mencerminkan pola kerja sama yang lebih bersifat transaksional. Banyak pihak mengkritik hubungan ini, karena dianggap sebagai upaya AS untuk memanfaatkan HTS demi mencapai tujuannya di Suriah, meskipun banyak yang meragukan komitmen jangka panjang kelompok ini terhadap tujuan Amerika Serikat. Selain itu, sikap HTS yang terkesan mengabaikan penderitaan rakyat Palestina dan aksi “Israel” di Suriah selatan menambah kesan pragmatisme dalam pendekatan mereka, meskipun kelompok ini berusaha mendapatkan keuntungan dari sanksi-sanksi internasional yang dikenakan kepada Suriah.
Tantangan bagi Amerika Serikat di Suriah
Meskipun Amerika Serikat berhasil memperoleh keuntungan strategis di Suriah setelah kejatuhan rezim, masih terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh Washington. Beberapa negara regional, seperti Turki, Arab Saudi, dan UEA, juga bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Suriah, yang membuat upaya AS untuk mendominasi kawasan semakin sulit. Persaingan ini memaksa Amerika Serikat untuk menyesuaikan kebijakan luar negerinya agar dapat mengakomodasi kepentingan Turki dan negara-negara Arab lainnya.
Selain itu, masalah Kurdi tetap menjadi titik permasalahan yang kontroversial. Kurdi di Suriah, yang banyak menerima dukungan dari AS, telah berperan besar dalam melawan kelompok ISIS. Namun, Turki menganggap milisi Kurdi sebagai ancaman, yang menciptakan ketegangan di antara para sekutu. Dinamika ini berisiko membebani kebijakan luar negeri AS, yang harus menghadapi kesulitan dalam menyeimbangkan kepentingan yang saling bertentangan.
Di sisi lain, konsolidasi kekuasaan oleh HTS berpotensi menambah ketidakstabilan di Suriah. Banyak pihak yang khawatir bahwa kekuasaan yang semakin terkonsentrasi pada kelompok ini akan memicu ketegangan lebih lanjut, yang bisa merusak stabilitas jangka panjang negara tersebut. Jika hal ini terjadi, pengaruh Amerika Serikat di Suriah bisa terganggu, mengingat pendekatan mereka yang lebih bergantung pada kelompok-kelompok tertentu dalam perang saudara di Suriah.
Masa depan Suriah setelah runtuhnya pemerintahan lama akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan Amerika Serikat dan interaksinya dengan negara-negara lain yang terlibat dalam dinamika regional. Peran Washington dalam membentuk kembali Suriah pasca-rezim akan sangat menentukan, baik dari segi kemitraan strategis maupun pengaruh ekonomi yang lebih luas. Bagi Amerika Serikat, mempertahankan kendali atas kebijakan luar negeri di kawasan Asia Barat dan menjaga stabilitas di wilayah ini menjadi tugas utama yang harus dihadapi dalam upaya mengonsolidasikan pengaruhnya di Suriah.