Opini
Lagu Kontroversial dan Kebebasan Berekspresi – Sejauh Mana Musik Harus Dipertanggungjawabkan?

Tauaja.com – Bebas berekspresi memang hak setiap orang, tak terkecuali musisi. Namun, seiring dengan kebebasan itu, sering muncul pertanyaan: sejauh mana kebebasan tersebut bisa diterima, dan kapan sebuah karya seni – dalam hal ini musik – berpotensi melukai orang lain atau membentuk persepsi yang tidak sehat dalam masyarakat?
Ambil contoh lagu-lagu yang sering menjadi sorotan karena lirik atau video klipnya yang kontroversial, seperti “Smack My Bitch Up” oleh The Prodigy atau “WAP” oleh Cardi B dan Megan Thee Stallion. Kedua lagu ini mencuatkan perdebatan panjang tentang apakah mereka layak didengar atau sebaiknya dihindari, mengingat pesan yang mereka sampaikan. Meskipun banyak yang menganggapnya sebagai karya seni atau bentuk kebebasan berekspresi, tak sedikit pula yang menilai bahwa kedua lagu ini membawa pesan moral yang bisa merugikan.
Kita mulai dengan “Smack My Bitch Up”, yang lebih dikenal lewat video klipnya yang penuh kekerasan dan eksploitasi. Menurut Jonas Akerlund, sutradara video klip tersebut, pada awalnya mereka tidak melihat ada yang salah dengan video itu. Bagi mereka, ini hanya sebuah komedi atau hiburan yang berlebihan. Namun, setelah video tersebut dirilis, ia menjadi salah satu video musik paling kontroversial sepanjang sejarah, dengan reaksi keras dari banyak kalangan, terutama feminis yang menentang kekerasan terhadap perempuan.
Begitu juga dengan “WAP”, yang dari sisi lain mengangkat tema pemberdayaan seksual. Banyak yang menganggap lagu ini sebagai manifestasi seksualitas wanita yang terpendam, tetapi ada juga yang merasa bahwa cara penyampaiannya terlalu vulgar dan merendahkan. Melalui lirik yang eksplisit, mereka mengajak pendengar untuk lebih terbuka tentang keinginan seksual, namun banyak juga yang menganggapnya tidak pantas untuk dikonsumsi publik, terutama oleh kalangan muda yang bisa terpengaruh oleh pesan yang disampaikan.
Jadi, apakah lagu-lagu ini masih layak didengar? Tentu saja, itu tergantung pada sudut pandang masing-masing. Tapi mari kita lihat lebih jauh: kebebasan berekspresi, meski penting, tetap perlu dibatasi ketika dapat menyinggung atau merugikan orang lain. Jika sebuah lagu atau video klip mengandung pesan yang normalisasi kekerasan, seksisme, atau diskriminasi, apakah itu masih bisa dianggap sebagai kebebasan berekspresi yang sah? Apakah kita masih bisa menganggapnya sebagai karya seni semata, tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap perilaku sosial?
Musik adalah kekuatan besar dalam membentuk budaya, dan sering kali kita melihat betapa lagu-lagu tertentu bisa memengaruhi cara orang berpikir dan bertindak. Terutama di era digital ini, di mana lagu-lagu bisa viral dalam hitungan jam dan dilihat oleh jutaan orang. Anak muda, yang mungkin belum cukup matang dalam menyaring pesan, bisa jadi lebih mudah terpengaruh oleh apa yang mereka dengar dan lihat di media sosial. Jika lagu tersebut mengandung kekerasan, eksploitasi, atau memicu ketidaksetaraan, apakah itu benar-benar layak didengar?
Memang benar bahwa seni dan musik sering kali dimaksudkan untuk provokasi, untuk menantang norma atau memperlihatkan sisi gelap kehidupan. Namun, kita juga perlu mengingat bahwa ada tanggung jawab sosial di balik kebebasan tersebut. Seorang seniman memiliki peran dalam membentuk perspektif masyarakat, dan ketika sebuah karya seni justru mengajak untuk merendahkan atau membahayakan kelompok tertentu, kita harus berpikir ulang.
Jadi, meskipun lagu-lagu seperti “Smack My Bitch Up” dan “WAP” bisa dianggap sebagai karya yang menggambarkan kebebasan berekspresi, kita tak bisa menutup mata pada dampak negatif yang mungkin ditimbulkan. Musik bisa jadi mencerminkan realitas, namun kita perlu memastikan bahwa realitas yang disampaikan tidak mengarah pada perbuatan yang merugikan. Kebebasan berekspresi harus tetap berada dalam batas yang tidak merugikan orang lain – itulah yang seharusnya menjadi pegangan kita dalam menikmati musik.