Opini
Hari Pahlawan: Dari Perang Kemerdekaan ke Perang Meja Makan

(Oleh Lutfi AB)
Tauaja.com – Hari Pahlawan, 10 November, kita rayakan lagi dengan segala macam orasi nasionalis yang sering kali lebih mirip dengan tragedi tunda tayang. Tiba-tiba, ada yang mengingatkan kita tentang perjuangan hebat para pahlawan. Terima kasih, Pahlawan, kami sangat mengapresiasi pengorbanan kalian yang berdarah-darah terutama karena tanpa kalian, kami tak akan punya kemerdekaan untuk… memilih channel TV dan menyaksikan drama korupsi di negeri ini.
Apa, tak ada yang tertarik dengan drama keluarga politisi? Mungkin karena ini jauh lebih seru daripada cerita perjuangan di medan perang.
Kita tahu, 10 November itu simbol dari perlawanan dan pengorbanan luar biasa. Tapi kalau kita lihat hari ini, perlawanan seperti apa yang sedang kita lakukan, ya? Pertarungan melawan siapa? Melawan korupsi? Eh, tapi koruptor malah santai seperti orang yang baru pulang liburan dari Bali. Melawan ketimpangan sosial? Malah mereka yang terpinggirkan ini dipaksa bertarung di medan perang virtual, menyuarakan protes lewat Twitter atau TikTok, dengan harapan bisa mengguncang hati nurani pemerintah yang bahkan mungkin belum pernah mendengar suara mereka. Ah, siapa yang butuh revolusi nyata kalau sudah ada Revolusi Virtual di dunia maya?
Dan dalam upacara Hari Pahlawan tahun ini, kita yang masih hidup, tak pernah lelah bertanya: “Apakah kita benar-benar meneruskan semangat mereka?” Kita tentu berharap semangat itu menginspirasi. Tapi, mari kita berhenti sejenak dan menyimak kisah para pahlawan kita yang mungkin tak tahu bahwa perjuangan mereka akhirnya digantikan dengan perjuangan lain—perjuangan untuk menemukan uang makan di tengah kekosongan meja pemerintahan. Apa jadinya jika para pahlawan itu bangkit kembali, melihat kita sibuk berdebat tentang pahlawan goyang atau pahlawan yang dapat voucher belanja, alih-alih mengatasi permasalahan kebangsaan yang lebih mendesak?
Bahkan, kita sudah mulai lupa apa arti kata “kemerdekaan”. Dulu kita melawan penjajahan, kita berdarah-darah, kita melawan fisik dan senjata. Kini, kita melawan pajak yang lebih menyesakkan daripada belenggu penjajah, kita melawan ekonomi yang lebih sulit dari menghadapi tentara asing. Tetapi, alih-alih ada semangat untuk berjuang, kita malah sibuk membaca berita tentang pejabat yang lebih terampil memanipulasi angka daripada berani melawan ketidakadilan. Mereka lebih pandai mencuri daripada mengabdi.
Apa semangat kepahlawanan sudah pudar? Atau justru, kita terlalu terbuai oleh kenyamanan modern? Kini, kita berperang melawan air minum yang semakin mahal, melawan listrik yang bikin kaget, melawan kebutuhan dasar yang semakin tak terjangkau. Mungkin, pahlawan kita dulu berjuang agar kita bisa bebas dari penjajahan, tapi tak ada yang memberi petunjuk jelas mengenai bagaimana mengatasi penjajahan ekonomi yang menindas.
Para pahlawan yang dulu berjuang untuk meraih kemerdekaan dengan nyawa mereka, mungkin akan kecewa melihat “kemerdekaan” kita sekarang berwujud utang luar negeri yang tak berkesudahan. Lalu, kita berperang dengan korupsi yang justru menjadi “bumbu masakan” di meja makan pejabat, atau dengan sistem pendidikan yang mengajarkan anak-anak kita untuk berkompetisi mengumpulkan nilai, bukan semangat kemerdekaan.
Semoga para pahlawan kita yang berjaya dulu tak terguling di alam kubur saat melihat negeri ini dipimpin oleh mereka yang lebih pandai mencetak uang ketimbang mencetak pemimpin sejati. Kalau dulu kita berperang dengan senjata, kini kita berperang dengan “kreativitas” pajak dan aturan yang bikin sakit kepala —tentunya, tidak ada senjata di tangan, hanya kalkulator di meja.
Apakah kita masih bisa menyebut diri kita sebagai bangsa yang menghormati pahlawan? Atau malah, kita lebih memilih untuk menyebut pahlawan itu sebagai orang-orang yang tahan banting menghadapi tekanan hidup di tengah ketidakpastian ekonomi, karena mereka yang paling pandai bertahan, bukan melawan? Mungkin, di Hari Pahlawan yang penuh dengan pengingat akan jasa mereka, kita perlu bertanya lebih keras lagi pada diri sendiri: “Apakah kita sudah melanjutkan perjuangan mereka atau malah melupakan perjuangan itu demi kenyamanan pribadi?”
Pahlawan kita mungkin tak meminta lebih dari apa yang mereka perjuangkan. Tapi hari ini, kita mungkin sedang berjuang untuk hal-hal yang jauh lebih sederhana: kesadaran bahwa kita harus kembali melawan ketidakadilan yang nyata dan bukan sekadar memeriahkan peringatan yang kosong makna.