Opini
Darurat Militer: Dampak, Pelajaran Sejarah, dan Realita Kehidupan di Bawah Aturannya

Ketika mendengar istilah darurat militer, kebanyakan orang mungkin langsung membayangkan tank-tank berderu di jalan-jalan, tentara bersenjata berjaga di setiap sudut, dan suasana tegang yang hampir selalu terlihat di film-film. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan darurat militer, dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat biasa? Saya dulu berpikir bahwa darurat militer hanyalah sebuah konsep yang jauh dari kenyataan, tetapi semakin saya membaca dan mempelajari sejarah, semakin saya menyadari betapa kompleksnya hal ini.
Darurat militer secara sederhana adalah kondisi di mana pemerintah sipil menyerahkan kekuasaan kepada militer untuk sementara waktu, biasanya karena adanya ancaman serius seperti kerusuhan, pemberontakan, atau bencana besar yang dianggap melampaui kemampuan lembaga sipil untuk mengatasinya. Dalam situasi ini, militer memiliki wewenang lebih besar untuk mengatur kehidupan masyarakat, termasuk memberlakukan jam malam, mengendalikan media, membatasi kebebasan berkumpul, atau bahkan mengambil alih sistem hukum. Semua itu sering kali dilakukan atas nama menjaga ketertiban dan keamanan.
Ada satu pelajaran besar yang saya dapatkan dari membaca kisah-kisah negara-negara yang pernah mengalami darurat militer: tidak ada yang benar-benar siap untuk hidup di bawah aturan militer. Misalnya, saat saya membaca tentang Filipina di bawah darurat militer yang diberlakukan Ferdinand Marcos pada tahun 1972, saya terkejut melihat bagaimana dampaknya begitu luas. Awalnya, darurat militer tersebut diumumkan untuk memerangi ancaman komunis yang semakin nyata dan demi melindungi negara dari kekacauan. Tapi, dengan cepat, itu menjadi alat politik untuk memperpanjang kekuasaan Marcos. Media dikendalikan, suara-suara oposisi dibungkam, dan hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara hampir sepenuhnya dihapuskan. Yang lebih menyedihkan, ini berlangsung selama bertahun-tahun, jauh lebih lama dari yang dijanjikan.
Salah satu hal yang sering tidak dibicarakan adalah bagaimana darurat militer memengaruhi kehidupan sehari-hari orang biasa. Bayangkan harus menunjukkan identitas setiap kali melewati pos pemeriksaan, tidak bisa keluar rumah setelah jam tertentu, atau bahkan takut berbicara tentang isu-isu tertentu karena khawatir dianggap sebagai ancaman. Semua itu menciptakan suasana paranoia kolektif. Saya pernah membaca cerita seorang wanita yang hidup di bawah darurat militer di Myanmar pada awal 2021. Ia menggambarkan bagaimana keluarganya harus berbicara dengan suara berbisik di rumah karena takut aparat mendengar percakapan yang “salah.” Kehidupan yang biasanya penuh kebebasan berubah menjadi ketakutan terus-menerus.
Namun, ada sisi lain dari darurat militer yang juga penting untuk dipahami. Dalam beberapa kasus, memang benar bahwa aturan militer bisa membantu memulihkan ketertiban di tengah kekacauan. Misalnya, selama Badai Katrina di Amerika Serikat tahun 2005, situasi darurat diumumkan, dan Garda Nasional diterjunkan untuk membantu mengatasi kekacauan pasca-bencana. Dalam situasi seperti itu, kehadiran militer sering kali memberikan rasa aman bagi warga yang trauma. Namun, meski membantu, aturan semacam ini tetap harus dilihat sebagai langkah sementara, bukan solusi jangka panjang.
Masalah terbesar dengan darurat militer adalah bahwa kekuasaan yang begitu besar di tangan militer sangat mudah disalahgunakan. Sejarah penuh dengan contoh di mana aturan darurat yang awalnya diberlakukan untuk “kepentingan rakyat” akhirnya berubah menjadi alat untuk menindas mereka. Kekuasaan absolut, seperti kata pepatah, cenderung merusak. Inilah sebabnya mengapa banyak orang percaya bahwa darurat militer harus selalu diawasi dengan ketat, baik oleh lembaga hukum internasional maupun masyarakat sipil di dalam negeri.
Saya juga mulai memahami bahwa penerapan darurat militer sering kali bergantung pada konteks politik dan budaya negara yang bersangkutan. Di beberapa negara dengan tradisi militer yang kuat, masyarakat mungkin lebih menerima gagasan ini sebagai langkah yang perlu. Tetapi di tempat lain, terutama di negara-negara demokrasi dengan sejarah panjang kebebasan sipil, darurat militer sering kali dipandang dengan kecurigaan mendalam. Salah satu alasan utamanya adalah trauma sejarah—banyak negara yang pernah mengalami penindasan di bawah aturan militer tidak ingin mengulangi pengalaman tersebut.
Bagi saya, salah satu aspek paling menarik adalah bagaimana darurat militer menguji batas antara keamanan dan kebebasan. Apakah lebih baik menyerahkan sebagian kebebasan kita untuk mendapatkan rasa aman? Atau apakah kebebasan adalah sesuatu yang tidak boleh dikorbankan, tidak peduli seberapa besar ancaman yang dihadapi? Ini bukanlah pertanyaan dengan jawaban mudah. Tapi dari pengalaman sejarah, tampaknya ada pola yang berulang: ketika kebebasan dikorbankan terlalu lama, masyarakat akan mulai melawan, bahkan jika itu berarti menghadapi risiko besar.
Darurat militer juga mengingatkan saya pada betapa pentingnya memiliki lembaga yang kuat dan akuntabel. Ketika sistem hukum tidak berfungsi atau pemerintah kehilangan kendali, militer sering kali menjadi pilihan terakhir. Tetapi jika lembaga-lembaga ini sehat dan mampu, kemungkinan besar situasi seperti itu bisa dihindari. Ini membuat saya berpikir: apakah darurat militer benar-benar solusi, ataukah itu tanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara sebuah negara dikelola?
Saya tidak akan lupa membaca laporan tentang anak-anak yang tumbuh di bawah darurat militer di beberapa negara konflik. Banyak dari mereka berbicara tentang bagaimana pengalaman tersebut mengubah cara mereka melihat dunia. Beberapa merasa lebih kuat dan lebih tangguh, tetapi banyak yang merasa kehilangan masa kecil mereka. Kehidupan di bawah aturan militer mengajari mereka untuk selalu waspada, bahkan terhadap tetangga mereka sendiri. Itu adalah pelajaran pahit tentang bagaimana ketakutan bisa memecah belah komunitas.
Pada akhirnya, darurat militer adalah alat yang sangat kuat, dan seperti semua alat yang kuat, itu harus digunakan dengan sangat hati-hati. Ketika saya memikirkan topik ini, saya tidak bisa tidak merasa bersyukur bahwa saya hidup di tempat di mana aturan semacam itu bukanlah bagian dari kehidupan sehari-hari saya. Tetapi saya juga sadar bahwa kita semua harus tetap waspada. Darurat militer di telinga kita mungkin terdengar seperti sesuatu yang jauh, tetapi dalam situasi dan kondisi tertentu, itu bisa menjadi kenyataan yang sangat dekat.
Setiap kali saya berbicara dengan orang lain tentang topik ini, saya selalu mengingatkan mereka untuk tidak hanya fokus pada aspek-aspek dramatisnya, seperti tank dan tentara di jalanan. Yang lebih penting adalah memahami bagaimana keputusan semacam itu memengaruhi orang-orang biasa—mereka yang menjalani kehidupan mereka, merawat keluarga mereka, dan mencoba bertahan di tengah kekacauan. Karena pada akhirnya, itulah inti dari setiap keputusan besar yang dibuat oleh pemerintah: bagaimana dampaknya terhadap kita semua.