tauaja.com

Blog

Proyeksi Musim Kemarau 2025 dan Imbauan BMKG untuk Berbagai Sektor

Published

on

Proyeksi Musim Kemarau 2025 dan Imbauan BMKG untuk Berbagai Sektor

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan prediksi terkait musim kemarau 2025, yang diperkirakan tidak akan se-ekstrem musim kemarau 2023, yang menyebabkan banyaknya kebakaran hutan. Menurut Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, hal tersebut disebabkan karena pada tahun 2025 ini tidak ada pengaruh iklim global yang dominan seperti El Niño, La Niña, maupun Indian Ocean Dipole (IOD). Oleh karena itu, berdasarkan analisis BMKG, kondisi iklim pada tahun 2025 diprediksi akan kembali normal, yang berarti musim kemarau tidak akan sesering tahun 2023 yang berdampak pada banyaknya kebakaran hutan. Untuk musim kemarau 2025, kondisinya diprediksi akan lebih mirip dengan yang terjadi pada musim kemarau 2024.

Sementara itu, Plt. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa puncak musim kemarau 2025 di Indonesia diperkirakan akan terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 2025. Puncak kemarau ini diperkirakan akan memengaruhi sebagian besar wilayah Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa waktu mulai kemarau di berbagai daerah Indonesia diperkirakan akan bervariasi. Beberapa wilayah akan mengalami kemarau pada periode yang hampir sama dengan rata-rata iklim normal yang berlaku, namun ada juga daerah yang akan mengalami kemarau lebih awal atau lebih lambat dari biasanya.

Jika dibandingkan dengan rerata klimatologi pada periode 1991 hingga 2020, awal musim kemarau di Indonesia pada tahun 2025 diprediksi akan terjadi pada periode yang sama dengan kondisi normal pada 207 ZOM (30%), atau akan terjadi sedikit lebih mundur pada 204 ZOM (29%), dan beberapa daerah diprediksi akan mengalami kemarau lebih awal pada 104 ZOM (22%). Beberapa wilayah yang diprediksi akan mengalami musim kemarau pada waktu yang normal meliputi daerah seperti Sumatera, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Utara, serta sebagian daerah di Maluku dan Maluku Utara. Di sisi lain, wilayah yang diperkirakan mengalami keterlambatan musim kemarau mencakup Kalimantan bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian wilayah di Sulawesi, beberapa daerah di Maluku Utara, serta Merauke.

Dalam menghadapi musim kemarau ini, BMKG memberikan beberapa imbauan kepada berbagai sektor agar dapat menghadapi musim kemarau dengan lebih baik, mengingat dampaknya bisa berbeda-beda di setiap wilayah. Untuk sektor pertanian, para petani diminta untuk menyesuaikan jadwal tanam mereka sesuai dengan proyeksi musim kemarau dan memilih varietas tanaman yang tahan terhadap kekeringan. Mereka juga diimbau untuk mengoptimalkan pengelolaan air, khususnya di daerah yang diperkirakan akan mengalami musim kemarau yang lebih kering daripada biasanya.

Bagi sektor kebencanaan, BMKG juga mengingatkan agar wilayah yang berisiko mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) untuk meningkatkan kesiapsiagaan mereka. Kesiapsiagaan ini penting untuk mencegah dampak yang dapat merugikan banyak pihak, termasuk kerusakan lingkungan yang bisa terjadi akibat kebakaran. Daerah-daerah rawan karhutla perlu segera menyiapkan langkah-langkah preventif agar kejadian serupa yang terjadi pada tahun 2023 tidak terulang.

Untuk sektor lingkungan, BMKG mengingatkan pentingnya kewaspadaan terhadap penurunan kualitas udara di kota-kota besar, terutama karena potensi suhu yang lebih tinggi selama musim kemarau. Peningkatan suhu ini bisa memengaruhi kualitas udara, yang pada gilirannya dapat berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki gangguan pernapasan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menjaga kesehatan dan kebersihan udara di lingkungan sekitar mereka.

Sektor energi juga diminta untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air. Pengelolaan air yang lebih baik ini diperlukan untuk mendukung operasional Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yang sangat bergantung pada pasokan air yang cukup. Selain itu, efisiensi ini juga akan sangat bermanfaat untuk sektor irigasi serta pemenuhan kebutuhan air baku yang semakin meningkat di masa kemarau.

Untuk sektor sumber daya air, BMKG menekankan pentingnya mengoptimalkan sumber air alternatif. Mengingat kemungkinan terjadinya kekurangan pasokan air selama musim kemarau, penggunaan sumber air alternatif seperti air tanah atau air hujan bisa menjadi solusi. Distribusi air juga harus dilakukan secara efisien untuk memastikan ketersediaan air yang cukup bagi masyarakat dan sektor-sektor penting lainnya.

Dwikorita juga menyampaikan bahwa informasi mengenai prediksi musim kemarau 2025 ini sangat penting untuk dapat diterapkan dalam program-program pemerintah serta masyarakat untuk menghadapi musim kemarau. Melalui optimalisasi kondisi iklim di masing-masing wilayah, diharapkan dampak buruk dari musim kemarau dapat diminimalisir. Keberhasilan pengelolaan musim kemarau ini sangat bergantung pada kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor-sektor terkait.

Secara keseluruhan, BMKG mengharapkan agar seluruh pihak yang terlibat dalam pengelolaan iklim dan bencana alam dapat memahami dan menindaklanjuti informasi mengenai prediksi musim kemarau ini dengan baik. Hal ini bertujuan untuk memitigasi potensi dampak buruk yang bisa terjadi akibat kemarau yang lebih kering, terutama pada sektor-sektor yang sangat bergantung pada air dan yang rawan terhadap kebakaran hutan. Sehingga, dengan kesiapan yang matang, Indonesia bisa lebih siap menghadapi tantangan iklim yang berubah-ubah dan lebih tangguh dalam menghadapi berbagai potensi bencana yang mungkin timbul.

Dengan adanya informasi prediksi cuaca yang jelas dan akurat dari BMKG, diharapkan masyarakat bisa lebih waspada dan terencana dalam menghadapi musim kemarau, serta lebih pintar dalam mengelola sumber daya alam yang terbatas selama musim panas yang akan datang.

Sumber : Kompas

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *