tauaja.com

Blog

Penarikan Pasukan Israel: Langkah Terakhir untuk Menyelesaikan Konflik di Lebanon Selatan

Published

on

Penarikan Pasukan Israel: Langkah Terakhir untuk Menyelesaikan Konflik di Lebanon Selatan

Menjelang batas waktu yang ditetapkan untuk penarikan pasukan Israel dari wilayah Lebanon pada 27 Januari 2025, berbagai laporan serta peristiwa setelah gencatan senjata yang berlangsung pada 27 November 2024, telah menimbulkan keraguan besar mengenai niat Israel untuk benar-benar memenuhi komitmennya. Keadaan ini menjadi perhatian utama yang memicu perdebatan intens mengenai dampak dan kemungkinan konsekuensi lebih lanjut bagi Lebanon dan kawasan sekitarnya. Menurut harian Al-Akhbar Lebanon, dalam laporan yang terbit pada Jumat, meskipun ada gencatan senjata, tindakan militer dari Israel di selatan Sungai Litani terus berlanjut, menunjukkan kemungkinan bahwa Israel tidak akan menarik pasukannya sesuai dengan yang dijanjikan.

Kejadian-kejadian pelanggaran tersebut tidak hanya terbatas pada serangan udara, tetapi juga mencakup penghancuran rumah warga dan berbagai bentuk tindakan agresif lainnya. Banyak pengamat melihat hal ini sebagai bagian dari strategi lebih besar yang dijalankan oleh pemerintah Israel, dengan harapan bahwa kelompok Hizbullah tidak akan melanjutkan permusuhan meskipun provokasi terus berlangsung. Sejumlah analis berpendapat bahwa komitmen Hizbullah terhadap gencatan senjata, meskipun dihadapkan pada provokasi yang terus menerus, justru mendorong pihak Israel untuk melakukan tindakan yang lebih berani dan tanpa rasa takut akan konsekuensinya. Tindakan-tindakan agresif ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai strategi yang berhubungan dengan perhitungan politik Israel dalam memperlihatkan kekuatan dan tekad mereka untuk mempertahankan kehadirannya di wilayah yang mereka kuasai.

Penting untuk dicatat bahwa dalam perhitungan strategis Israel, situasi di Suriah juga menjadi faktor kunci. Situasi ini berpotensi memperburuk hubungan yang sudah tegang, khususnya terkait dengan kedalaman pengaruh Hizbullah yang semakin kuat di wilayah tersebut. Dengan tidak adanya tanggapan militer yang jelas dari pihak Suriah, Israel tampaknya semakin memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut, dengan menguasai sekitar 400 kilometer persegi wilayah Suriah yang sebelumnya tidak terjamah. Hal ini jelas menunjukkan sikap ofensif yang diambil oleh Israel, meskipun tanpa adanya provokasi langsung dari pemerintah Suriah.

Jika Israel tidak menarik pasukannya sebelum tanggal 27 Januari, mereka akan melanggar ketentuan yang telah mereka tandatangani dalam perjanjian gencatan senjata. Pelanggaran tersebut akan merusak kredibilitas Lebanon dan badan pengawas yang bertugas memantau implementasi perjanjian tersebut. Dalam skenario ini, kepercayaan rakyat Lebanon, khususnya yang tinggal di wilayah selatan, terhadap pemerintah akan semakin luntur. Ini dapat memberikan dampak besar pada kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas diplomasi internasional dalam menghadapi perilaku agresif Israel. Sebagai akibatnya, banyak pihak yang khawatir bahwa satu-satunya solusi yang akan dianggap sah oleh rakyat Lebanon adalah melanjutkan perlawanan bersenjata melalui Hizbullah, yang bisa berarti dimulainya kembali konflik besar.

Pendudukan yang terus berlanjut ini juga semakin memperburuk situasi politik dalam negeri Lebanon. Banyak pihak yang melihat bahwa kehadiran pasukan Israel yang masih bertahan di wilayah selatan semakin melemahkan argumen mereka yang menentang penggunaan kekuatan bersenjata. Sebagian besar pihak yang mendukung solusi diplomatik kini terlihat semakin tidak dapat mempertahankan posisi mereka, terutama terkait dengan klaim bahwa hubungan internasional dan upaya diplomatik akan cukup untuk menjaga kedaulatan Lebanon tanpa perlu ada perlawanan militer. Dalam hal ini, pemerintah Lebanon menunjukkan kelemahan dalam hal penanganan isu kedaulatan dan upaya rekonstruksi pascakonflik. Ada kecenderungan dalam politik Lebanon untuk menyalahkan Hizbullah sebagai pihak yang mendominasi keputusan-keputusan strategis negara, yang memperburuk perpecahan internal.

Bagi Hizbullah, pendudukan yang masih berlangsung ini jelas merupakan tantangan besar yang harus dihadapi. Meskipun kelompok ini belum secara terbuka mengungkapkan rencana tindakan spesifik mereka, para pemimpin Hizbullah menegaskan bahwa keberlanjutan pendudukan Israel di tanah Lebanon tidak akan dibiarkan begitu saja. Mereka memandang bahwa jika mereka tetap diam dan membiarkan situasi ini berlanjut tanpa respons, hal itu akan semakin memperburuk kondisi dan memberi kesan bahwa dunia internasional tidak mampu menanggapi pelanggaran yang dilakukan oleh Israel. Oleh karena itu, meskipun saat ini masih ada gencatan senjata, Hizbullah tetap bersiap untuk memberikan respons strategis yang dapat melindungi kedaulatan Lebanon dan memaksa Israel untuk mematuhi perjanjian yang telah dibuat.

Kemungkinan besar, langkah apa pun yang diambil oleh Hizbullah akan bergantung pada analisis mereka terhadap situasi di lapangan dan perkembangan yang terjadi di wilayah tersebut. Namun, beberapa laporan menunjukkan bahwa sejak keberhasilan mereka dalam pertempuran terakhir dan pembebasan wilayah pada tahun 2000, Hizbullah telah meningkatkan kemampuan dan kesiapan mereka dalam menghadapi serangan lebih lanjut. Mereka telah mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi kemungkinan konfrontasi baru, yang dapat membuktikan bahwa mereka siap untuk bertindak jika diperlukan.

Seiring waktu, pendudukan Israel yang terus berlanjut semakin memperburuk integritas perjanjian gencatan senjata yang telah ditandatangani. Hal ini tidak hanya merugikan kredibilitas diplomasi internasional, tetapi juga memperkuat pandangan bahwa satu-satunya cara untuk menghadapi agresi Israel adalah dengan menggunakan kekuatan bersenjata. Bagi sebagian besar pihak yang menentang Israel, bahasa yang mereka pahami adalah bahasa kekuatan, dan ini semakin menunjukkan bahwa meskipun ada upaya diplomatik, Israel tetap akan bertindak sesuai keinginan mereka jika tidak ada tekanan yang cukup kuat. Keterlambatan Israel dalam memenuhi janji penarikannya akan semakin memperburuk situasi dan memicu ketegangan yang lebih besar di wilayah tersebut.

Dalam kesimpulannya, meskipun ada gencatan senjata, Israel masih mempertahankan pendudukannya di wilayah selatan Lebanon, yang terus memicu ketegangan dan keraguan tentang keseriusan negara tersebut untuk mematuhi perjanjian yang telah disepakati. Ketegangan ini berpotensi merusak hubungan internasional dan mengarah pada eskalasi perlawanan bersenjata. Hal ini menempatkan Hizbullah dalam posisi yang sulit, karena mereka harus mempertimbangkan langkah-langkah strategis yang akan diambil untuk menjaga kedaulatan negara mereka, sementara dunia internasional tetap memperhatikan perkembangan ini.

 

Sumber : Al Manar

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *