Blog
Penangkapan Presiden Yoon Suk Yeol di Korea Selatan: Sebuah Puncak Krisis Politik yang Mendalam

Pihak berwenang Korea Selatan berhasil menangkap Presiden Yoon Suk Yeol setelah beberapa minggu ketegangan politik yang memuncak. Penangkapan tersebut terjadi setelah Yoon dituduh melakukan pemberontakan. Dilaporkan oleh Reuters, Yoon yang sebelumnya telah dimakzulkan pada 3 Desember 2024 karena mengeluarkan kebijakan darurat militer, memilih untuk menyerahkan diri demi menghindari konflik fisik lebih lanjut. Sejak diberhentikan, Yoon telah bersembunyi di kediamannya yang terletak di lereng bukit, yang dijaga ketat oleh pasukan pengawal pribadi.
Yoon, yang pernah menjabat sebagai presiden Korea Selatan, kini menjadi tokoh yang terjerat dalam skandal politik besar. Penangkapannya adalah titik balik dalam sejarah negara yang dikenal sebagai salah satu demokrasi paling dinamis di Asia. Negara ini tidak asing dengan peristiwa pemecatan dan hukuman bagi mantan pemimpin, namun penangkapan seorang presiden yang masih menjabat tentu menambah ketegangan yang sudah melanda negara tersebut. Kejadian ini juga menandakan ketegangan yang mendalam dalam sistem politik dan hukum Korea Selatan, di mana proses penyelidikan dan penahanan pejabat tinggi sering kali menjadi sorotan.
Setelah diberhentikan dan dipaksa mengundurkan diri, Yoon Suk Yeol tetap mengungkapkan bahwa dirinya menentang keras tuduhan yang dilayangkan terhadapnya. Meskipun demikian, ia memilih untuk menanggapi penyelidikan Komisi Antikorupsi atau CIO Korea Selatan dengan menyerahkan diri, meskipun ia menganggap proses penyelidikan tersebut ilegal. Yoon menyatakan bahwa keputusan untuk menyerahkan diri diambil demi menghindari pertumpahan darah yang lebih besar. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada pagi hari penangkapannya, Yoon mengungkapkan bahwa ia merasa terpaksa untuk menghadapi penyelidikan yang dilakukan oleh lembaga tersebut setelah melihat lebih dari 3.000 polisi yang bersiap-siap untuk menyerbu kediamannya. “Melihat mereka menerobos masuk menggunakan peralatan pemadam kebakaran, saya memutuskan untuk kooperatif dengan penyelidikan,” ujar Yoon, yang mengaku khawatir kekerasan akan terjadi jika ia tetap menolak.
Penangkapan Yoon menjadi momen dramatis, yang menggambarkan seberapa besar ketegangan politik yang sedang melanda negara ini. Lebih dari tiga ribu petugas kepolisian disiagakan untuk mengamankan penangkapan tersebut. Mereka berjaga di sekitar kediaman Yoon sejak dini hari, menunggu perintah untuk bergerak. Tindakan mereka menunjukkan keseriusan pihak berwenang dalam menangani situasi yang semakin memanas. Bahkan, beberapa laporan menyebutkan bahwa perkelahian kecil terjadi antara pengunjuk rasa pro-Yoon dan petugas kepolisian di sekitar lokasi tersebut. Para pengunjuk rasa yang mendukung Yoon berusaha menghalangi proses penangkapan, meskipun mereka tampaknya tidak berhasil mencegah aksi yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari.
Setelah menyerahkan diri, Yoon Suk Yeol dibawa ke kantor Komisi Antikorupsi, yang telah memimpin penyelidikan terhadapnya selama beberapa waktu. Penahanan ini dilihat sebagai langkah penting dalam rangka mengungkap dugaan tindak pidana yang mungkin telah dilakukan oleh mantan presiden. Dalam proses hukum yang berlaku, pihak berwenang memiliki waktu 48 jam untuk melakukan interogasi terhadap Yoon. Setelah itu, mereka harus mengajukan permohonan surat perintah penahanan jika ingin menahan Yoon lebih lama, yang hanya berlaku maksimal selama 20 hari, atau mereka bisa memilih untuk membebaskannya. Sementara itu, pengacara Yoon secara tegas menyatakan bahwa penahanan tersebut ilegal dan dirancang hanya untuk mempermalukan kliennya di depan publik. Hal ini menambah lapisan kontroversi dalam situasi yang sudah sangat rumit ini.
Penangkapan Yoon muncul setelah peristiwa besar yang terjadi pada 3 Desember 2024, ketika Yoon Suk Yeol mengeluarkan pernyataan darurat militer. Keputusan ini menimbulkan kegemparan di seluruh negeri dan mengguncang fondasi politik yang ada. Banyak pihak yang menilai kebijakan tersebut sebagai langkah yang sangat ekstrem, yang memicu krisis politik luar biasa. Tindakan Yoon dianggap oleh banyak kalangan sebagai langkah yang tidak proporsional dalam menghadapi situasi yang sedang berkembang saat itu. Reaksi publik yang keras terhadap kebijakan ini menyebabkan anggota parlemen di Majelis Nasional memilih untuk memakzulkan Yoon pada 14 Desember 2024. Keputusan untuk memakzulkan tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan yang semakin mendalam terhadap kepemimpinan Yoon, terutama setelah darurat militer diberlakukan.
Darurat militer yang dikeluarkan oleh Yoon pada bulan Desember 2024 mengundang kecaman dari berbagai kalangan, baik di dalam negeri maupun internasional. Keputusan tersebut mengguncang ekonomi Korea Selatan yang merupakan salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia. Ketegangan politik yang terjadi juga berdampak pada stabilitas sosial dan ekonomi negara. Tidak hanya itu, pemberlakuan darurat militer menjadi titik balik dalam perjalanan demokrasi Korea Selatan, yang selama ini dikenal stabil dan maju. Pemecatan Yoon dan proses penyelidikan yang panjang ini menciptakan ketidakpastian, baik bagi warga negara maupun investor asing.
Bagi beberapa kalangan, penangkapan Yoon menggambarkan betapa rapuhnya stabilitas politik di negara yang dikenal sebagai salah satu demokrasi terbesar di dunia. Korea Selatan memiliki sejarah panjang dalam menghadapi ketegangan politik, termasuk penahanan dan pemecatan pejabat tinggi negara. Meskipun demikian, kejadian ini membawa dampak yang lebih besar, karena penangkapan seorang presiden yang masih menjabat menunjukkan adanya pergeseran besar dalam politik yang selama ini mengedepankan sistem pemerintahan yang relatif stabil dan demokratis.
Proses penyelidikan hukum terhadap mantan presiden ini juga menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga hukum di Korea Selatan bekerja dalam menghadapi skandal yang melibatkan pejabat tinggi negara. Namun, kontroversi mengenai legalitas penahanan Yoon menambah kerumitan dalam situasi ini. Banyak yang mempertanyakan apakah proses hukum ini benar-benar dijalankan secara adil atau apakah ada agenda politik tertentu yang mendasari keputusan-keputusan yang diambil oleh pihak berwenang. Sementara itu, publik terbelah antara yang mendukung dan yang menentang langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah.
Peristiwa ini tentu akan menjadi bagian dari sejarah politik Korea Selatan yang patut dicatat. Penangkapan seorang presiden yang terpilih secara demokratis menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun, bahkan kepala negara, yang kebal terhadap proses hukum. Di sisi lain, proses ini juga memperlihatkan betapa pentingnya transparansi dan keadilan dalam menangani kasus-kasus besar yang melibatkan tokoh-tokoh politik tinggi, untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan politik yang ada. Meskipun saat ini situasi masih penuh dengan ketegangan, ke depan, masyarakat akan terus mengamati bagaimana perkembangan hukum dan politik di Korea Selatan akan berlanjut.
Sumber : Tempo.co