Blog
Kenangan Abadi Tentang Mbok Yem, Penjaga Warung Legendaris di Puncak Hargo Dumilah

Published
3 bulan agoon
By
sans
Kepergian Mbok Yem, yang memiliki nama asli Wakiyem, meninggalkan jejak mendalam di hati para pendaki Gunung Lawu. Perempuan yang wafat pada usia 82 tahun ini bukan hanya pemilik satu‑satunya warung di puncak tertinggi jalur pendakian Lawu, Hargo Dumilah, tetapi juga sosok yang melekat sebagai simbol keramahan gunung tersebut. Selama bertahun‑tahun, warung kecilnya menyediakan kehangatan berupa teh panas, kopi, nasi pecel, dan obrolan ringan—penyelamat sederhana bagi pendaki yang bergelut dengan dingin serta lelah di ketinggian. Kini, setelah beliau berpulang, muncul pertanyaan besar mengenai keberlanjutan warung yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan ke puncak Lawu.
Kabar duka ini diperoleh dari keterangan Syaiful Bahri, cucu Mbok Yem, sebagaimana dilaporkan Surya.co.id pada 23 April 2025. Dalam suasana haru di rumah duka, Dusun Dagung, Kecamatan Poncol, Magetan, Syaiful menyatakan bahwa keluarga belum memutuskan masa depan warung tersebut. “Semua akan kami bahas bersama keluarga besar. Sekarang kami fokus melepas kepergian beliau,” tuturnya pada Rabu malam, 23 April 2025. Pernyataan Syaiful menegaskan bahwa prioritas utama keluarga saat ini adalah menghormati proses perpisahan dengan sang nenek sebelum membicarakan langkah selanjutnya.
Menurut penuturan cucu beliau, menjelang Hari Raya Idul Fitri 2025, kondisi kesehatan Mbok Yem memburuk. Selama ini, beliau memang lebih sering tinggal di warungnya di puncak, tetapi karena fisik yang semakin lemah, beliau akhirnya turun gunung dan kembali ke rumah di Dusun Dagung. Sesampainya di rumah, komplikasi penyakit memaksa beliau menjalani perawatan intensif di RSU Aisyiyah Ponorogo hampir tiga pekan. Selama masa perawatan, sempat terlihat tanda‑tanda pemulihan—membuat keluarga dan kerabat berharap beliau bisa pulih. Namun, beberapa hari setelah Lebaran, kesehatannya kembali menurun drastis.
Syaiful menjelaskan bahwa, walaupun kondisi Mbok Yem sempat stabil, menjelang siang pada hari terakhirnya beliau tiba‑tiba mengalami penurunan kondisi yang cepat. Sekitar pukul dua siang, beliau mengembuskan napas terakhir. Duka mendalam tidak hanya dirasakan keluarga, tetapi juga para pendaki yang selama ini menganggap Mbok Yem sebagai “orang tua” di puncak Lawu. Banyak pendaki mengenang beliau sebagai pribadi sederhana yang selalu menyambut setiap orang dengan senyuman ramah, secangkir teh hangat, dan sapaan “monggo, istirahat disini dulu, Nak.”
Warung Mbok Yem berlokasi di titik strategis jalur pendakian, menjadikannya tempat rehat wajib bagi para pendaki sebelum menaklukkan puncak Hargo Dumilah. Di tengah kondisi alam yang bisa berubah drastis—kabut tebal, hujan, bahkan suhu yang turun tajam—keberadaan warung tersebut kerap menjadi penyelamat. Tak terhitung cerita pendaki yang nyaris menyerah karena hipotermia lalu menemukan kembali semangat setelah menikmati hidangan hangat racikan Mbok Yem. Bagi sebagian pendaki, warung itu lebih dari sekadar tempat makan; ia seperti mercusuar kecil yang menandakan bahwa puncak tinggal beberapa langkah lagi.
Selama puluhan tahun, warung tersebut beroperasi nyaris tanpa jeda. Dalam banyak kisah, Mbok Yem kerap menolak ajakan turun gunung meski sudah lanjut usia. Beliau mengaku betah tinggal di puncak karena merasa terhubung dengan alam Lawu dan pendaki yang silih berganti datang. Akan tetapi, sebelum wafat, Mbok Yem sempat menyampaikan keinginan untuk tidak kembali naik ke gunung. “Beliau ingin istirahat, tinggal di rumah bersama keluarga,” jelas Syaiful. Keputusan tersebut diutarakan ketika kondisi kesehatannya mulai rapuh dan perjalanan naik turun gunung tidak lagi memungkinkan.
Ketika berita wafatnya Mbok Yem tersebar di kalangan komunitas pendaki, ucapan belasungkawa mengalir deras melalui media sosial. Banyak pengunjung Lawu membagikan foto lama mereka bersama sosok bersahaja itu, lengkap dengan kisah bagaimana semangkuk mie instan atau seteguk teh panas menolong mereka melewati badai dingin. Rekaman digital itu memperlihatkan betapa warung Mbok Yem telah menjadi bagian nostalgia perjalanan generasi pendaki. Beragam komentar menegaskan satu hal: setiap orang yang pernah menjejakkan kaki di warung kecil tersebut pulang membawa kenangan manis yang sukar terlupa.
Prosesi pemakaman dilangsungkan di TPU Desa Gonggang, Poncol, Magetan. Meskipun jalan menuju lokasi tidak mudah diakses, banyak warga, sahabat, dan pendaki yang pernah singgah di warung beliau datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Suasana haru menyelimuti pemakaman, disertai doa agar kehangatan dan kebaikan Mbok Yem beroleh balasan terbaik. Di antara pelayat, terlihat pula beberapa porter dan pemandu gunung yang mengakui bahwa keberadaan warung Mbok Yem sangat membantu kelancaran aktivitas pendakian selama ini.
Kini, masa depan warung legendaris itu menjadi topik hangat. Beberapa pendaki berharap keluarga bersedia mempertahankannya sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa Mbok Yem serta demi kenyamanan pendaki lain. Ada pula usul agar komunitas pendaki berpartisipasi menjaga operasional warung, misalnya melalui sistem sukarelawan bergilir atau kerja sama dengan pihak pengelola jalur pendakian. Namun, seperti ditegaskan Syaiful, semua keputusan menunggu musyawarah keluarga besar. Mereka ingin memastikan setiap langkah menghormati keinginan almarhumah sekaligus mempertimbangkan aspek keselamatan dan logistik.
Terlepas dari keputusan yang akan diambil, kisah hidup Mbok Yem telah menorehkan pelajaran tentang ketulusan pelayanan dan ketangguhan. Di usia senja, beliau tetap memilih tinggal di ketinggian gunung demi menyediakan tempat berteduh bagi orang lain. Komitmennya menunjukkan bahwa peran kecil—seperti menyeduh teh panas—bisa berdampak besar bagi banyak orang. Keikhlasan tersebut membuat sosoknya dihormati, bahkan oleh pendaki yang baru sekali bertemu.
Gunung Lawu sendiri terkenal memiliki aura mistis dan sejarah panjang dalam budaya Jawa. Di antara cerita spiritual dan legenda, warung Mbok Yem hadir sebagai elemen nyata yang menambah warna humanis pada pengalaman mendaki. Sejumlah pendaki kerap bercerita, setelah berjam‑jam menapaki jalur jalur pendakian yang menanjak, melihat lampu sendu warung dari kejauhan menimbulkan rasa lega dan bersemangat. “Seolah‑olah itu rumah kedua,” tulis seorang pendaki di kolom komentar media sosial, mengenang malam dingin di mana ia berlindung dari hujan sambil menyantap nasi pecel hangat.
Beberapa tahun terakhir, popularitas jalur pendakian Lawu meningkat pesat. Infrastruktur pendukung memang semakin baik, tetapi warung Mbok Yem tetap menjadi titik paling ikonik. Banyak vlog perjalanan dan konten media sosial menjadikan warung tersebut latar pengambilan gambar. Bahkan, tak sedikit yang menyebut, mendaki Lawu “belum lengkap” tanpa mampir ke warung Mbok Yem untuk menyeruput teh panas. Dengan demikian, wajar apabila kabar wafatnya Mbok Yem menorehkan duka luas—seperti hilangnya bagian tak tergantikan dari sebuah ritual pendakian.
Dalam konteks pelestarian, beberapa komunitas pencinta alam mengusulkan agar warung itu difungsikan sebagai pos darurat atau pusat edukasi keselamatan pendakian, apabila keluarga tidak meneruskan usaha kuliner. Ide tersebut dinilai relevan mengingat lokasi strategis warung dan kebutuhan akan titik evakuasi cepat di ketinggian. Terlepas dari bentuknya, harapan banyak pihak adalah semangat pelayanan Mbok Yem tetap hidup, entah lewat warung yang tetap buka atau melalui inisiatif lain yang mengingatkan pendaki untuk saling peduli.
Sementara itu, di Dusun Dagung, keluarga besar Mbok Yem menerima tamu yang datang menyampaikan belasungkawa. Kisah‑kisah lucu maupun mengharukan seputar warung di puncak Lawu terdengar di ruang tamu sederhana. Beberapa pendaki bercerita bagaimana Mbok Yem sering menasehati mereka agar “jangan lupa bawa sampah turun,” atau memaksa mereka menambah lapisan pakaian ketika suhu turun drastis. Detail‑detail kecil tersebut menegaskan betapa beliau tidak hanya berdagang, tetapi juga menjaga keselamatan pendaki.
Bagi warga sekitar, Mbok Yem dikenal sebagai sosok pekerja keras yang mandiri sejak muda. Beliau mulai berjualan di jalur Lawu pada dekade 1970‑an, ketika pendakian belum sepopuler sekarang. Berbekal peralatan sederhana, beliau mendaki membawa bahan makanan, air, dan tabung gas kecil. Rutinitas berat tersebut dijalani puluhan tahun, melewati perubahan zaman dan kondisi alam. Menurut cerita, semangatnya dipicu oleh niat membantu pendaki yang sering kehabisan bekal di gunung. Sepanjang kariernya, tak terhitung berapa kali beliau menolong pendaki sakit, tersesat, atau kelelahan.
Dengan segala jasa tersebut, tidak berlebihan jika sosok Mbok Yem disejajarkan dengan legenda hidup dalam dunia pendakian Indonesia. Kepergiannya menutup satu babak, tetapi warisan ketulusan dan keramahtamahan tetap dikenang. Bagi para pendaki yang kelak menyusuri jalur Lawu, cerita tentang warung di puncak yang pernah menjual nasi pecel paling nikmat di atas awan akan terus diceritakan secara lisan. Setiap hembusan angin dingin di Hargo Dumilah bakal mengingatkan bahwa di tempat itu pernah berdiri seorang nenek bersahaja, menyambut siapa pun dengan senyum hangat.
Ke depan, apa pun keputusan keluarga terkait kelanjutan warung, semangat Mbok Yem diharapkan tetap menjadi inspirasi. Pendakian bukan semata tentang menaklukkan puncak, tetapi juga menghargai setiap orang yang berkontribusi terhadap keselamatan dan kenyamanan perjalanan. Kisah hidup beliau menegaskan makna saling menolong di tengah alam yang keras. Warung mungkin bisa dikelola orang lain, tetapi kehangatan asli dari seorang nenek yang dengan sabar menyuguhkan teh panas di ketinggian—itulah yang membuat Gunung Lawu selalu terasa “ramah.”
Dengan demikian, kepergian Mbok Yem memang meninggalkan duka, namun juga menghadirkan kesempatan bagi kita untuk meneladani semangat berbagi. Bagi pendaki, mengenang beliau berarti terus menjaga etika mendaki dan peduli terhadap sesama. Bagi keluarga dan masyarakat, warisan kenangan ini adalah sumber kebanggaan sekaligus tanggung jawab moral untuk melanjutkan nilai‑nilai kebaikan. Selamat jalan, Mbok Yem—senyum hangat dan teh panasmu akan selalu menjadi bagian cerita di puncak Hargo Dumilah yang menjulang di langit Jawa Timur.
Sumber : Kompas
