tauaja.com

Blog

Kematian Bayi Akibat Kedinginan di Gaza: Tragedi yang Terus Berlanjut

Published

on

Kematian Bayi Akibat Kedinginan di Gaza: Tragedi yang Terus Berlanjut

Selama seminggu terakhir, setidaknya enam bayi kehilangan nyawa akibat suhu dingin yang ekstrem di Gaza. Sementara itu, serangan udara Israel terus menggempur kawasan-kawasan yang diduga menjadi tempat persembunyian para pejuang kemerdekaan Palestina, termasuk rumah sakit-rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat penyelamatan nyawa. Pada Kamis, 2 Januari 2024, serangan udara Israel menghantam kawasan Al-Mawasi di Gaza Selatan, yang sebelumnya sempat diumumkan oleh Israel sebagai zona aman. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya sepuluh orang, termasuk perempuan dan anak-anak, serta melukai puluhan lainnya. Sejak awal invasi pada 8 Oktober 2024, serangan ini telah menewaskan lebih dari 45.000 warga Gaza, menunjukkan betapa tragisnya dampak serangan terhadap warga sipil, terutama yang paling rentan.

Dalam situasi yang semakin memprihatinkan ini, bayi-bayi di Gaza menjadi korban utama, terutama karena mereka tidak hanya menghadapi ancaman serangan langsung, tetapi juga cuaca dingin yang mematikan. Laporan dari kantor berita Palestina, Wafa, pada 1 Januari 2025, menyebutkan bahwa enam bayi meninggal karena kedinginan dalam seminggu terakhir. Ali al-Batran, seorang bayi yang baru berusia sebulan, menjadi korban terakhir dari tragedi ini. Ali meninggal di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, yang sudah beroperasi dengan keterbatasan besar akibat kondisi perang yang berlangsung. Sebelumnya, saudara kembarnya, Jumaa al-Batran, juga meninggal di tenda tempat keluarganya berlindung di Deir el-Balah akibat hipotermia. Sang ayah, Yahya al-Batran, menggambarkan betapa memilukan kondisi kedua anaknya yang sudah tak bernyawa. Menurutnya, kepala kedua bayi tersebut terasa dingin seperti es dan tubuh mereka sudah kaku, tanpa ada respons saat ia mencoba membangunkannya.

Dokter Wisam Shaltout, Kepala Unit Neonatal di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa, menjelaskan bahwa kedua bayi kembar itu lahir prematur dan berada dalam kondisi kritis akibat efek hipotermia. Mereka sempat menggunakan ventilator di unit perawatan intensif rumah sakit, namun suhu dingin di tenda tempat mereka tinggal, ditambah kondisi medis yang lemah, membuat nyawa mereka tidak tertolong. Selain Ali dan Jumaa, tiga bayi lainnya yang meninggal akibat hipotermia juga berasal dari kawasan Al-Mawasi. Di wilayah ini, kondisi cuaca dingin semakin memperburuk penderitaan warga, terlebih mereka yang tinggal dekat pantai, yang kerap merasakan suhu dingin yang sangat ekstrem.

Para pengungsi yang bertahan hidup di Gaza sudah lebih dari 14 bulan berada dalam kondisi yang sangat sulit. Mereka tinggal di tenda-tenda yang sama tanpa perlindungan yang memadai. “Kami hanya menggunakan tenda yang sudah ada, tanpa terpal tambahan. Harga untuk membeli bahan-bahan yang bisa digunakan untuk menutupi tenda sangat mahal,” ungkap Hind Khoudari, seorang wartawan Al Jazeera yang melaporkan dari kawasan tersebut. Selain itu, sulitnya mendapatkan pakaian musim dingin dan selimut menambah penderitaan mereka yang sudah sangat kekurangan. Dalam situasi seperti ini, bayi menjadi kelompok yang paling rentan, karena tubuh mereka tidak mampu mengatasi dingin dengan baik, apalagi jika mereka lahir prematur atau dalam kondisi kekurangan gizi.

Hipotermia merupakan kondisi medis yang terjadi ketika tubuh kehilangan panas lebih cepat daripada yang bisa diproduksi, menyebabkan suhu tubuh turun drastis. Suhu tubuh yang normal adalah sekitar 37 derajat Celcius, dan jika tubuh tidak dapat mempertahankan suhu ini, maka akan terjadi hipotermia. Dalam keadaan seperti ini, organ vital tubuh mulai mengalami gangguan fungsi, dan jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa berakibat fatal. Pada bayi, hipotermia menjadi ancaman serius karena mereka menghasilkan lebih sedikit panas dibandingkan orang dewasa. Selain itu, faktor kelaparan yang melanda sebagian besar warga Gaza semakin memperburuk risiko ini. Para ibu yang kekurangan gizi bahkan kesulitan untuk menyusui bayi mereka dengan cukup, dan susu formula bayi menjadi barang langka akibat pembatasan pengiriman bantuan.

Hipotermia sering kali dimulai pada suhu tubuh yang lebih rendah dari 35 derajat Celcius, dan semakin parah ketika suhu tubuh turun di bawah angka tersebut. Ketika tubuh mulai terpapar cuaca dingin, pembuluh darah di kulit menyempit untuk mengurangi kehilangan panas, yang menyebabkan bagian tubuh seperti jari tangan dan kaki menjadi sangat dingin dan mati rasa. Selanjutnya, tubuh berusaha menghasilkan lebih banyak panas dengan menggigil, meningkatkan pernapasan, dan mempercepat detak jantung untuk memompa darah hangat ke organ-organ vital. Namun, pada kondisi yang lebih parah, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi normalnya, menyebabkan kebingungan, kelelahan, bahkan kehilangan kesadaran.

Situasi di Gaza semakin memperburuk kondisi ini, karena selain serangan yang terus berlanjut, cuaca dingin yang ekstrem semakin memperburuk penderitaan warga, khususnya bayi yang terlahir prematur dan orang-orang yang tidak memiliki akses ke pemanas atau perlindungan yang cukup. Banyak bayi yang terlahir dengan berat badan rendah atau prematur karena stres yang dialami oleh ibu mereka selama perang, serta kondisi hidup yang penuh dengan kekurangan gizi dan fasilitas medis yang terbatas. Dalam banyak kasus, ibu-ibu yang melahirkan tidak mampu memberikan perawatan yang optimal bagi bayi mereka, dan situasi ini hanya akan semakin memburuk seiring berlanjutnya serangan dan penghancuran fasilitas-fasilitas medis.

Hipotermia pada bayi prematur sangat berbahaya karena tubuh mereka belum sepenuhnya berkembang untuk mengatur suhu tubuh secara efektif. Bayi yang lahir prematur juga lebih rentan terhadap infeksi, dan saat tubuh mereka mengalami hipotermia, sistem kekebalan mereka menjadi lebih lemah, sehingga memperbesar kemungkinan terkena penyakit serius. Kematian bayi akibat hipotermia ini menggambarkan betapa besar penderitaan yang dialami oleh warga Gaza, yang semakin terjepit antara ancaman serangan dan kondisi hidup yang sangat buruk.

Penderitaan yang dialami oleh bayi-bayi ini juga mencerminkan betapa dramatisnya dampak dari perang terhadap generasi muda yang tidak berdosa. Serangan terhadap tempat-tempat yang seharusnya menjadi zona aman, seperti rumah sakit, hanya memperburuk situasi ini. Rumah sakit yang seharusnya bisa memberikan pertolongan pertama bagi bayi-bayi yang sakit dan terluka kini malah menghadapi kesulitan untuk beroperasi, dengan terbatasnya pasokan medis dan peralatan yang rusak akibat serangan udara. Sementara itu, warga yang terpaksa bertahan hidup di tenda-tenda pengungsian, tanpa perlindungan yang memadai dari cuaca dingin, menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka tidak hanya harus menghindari serangan langsung, tetapi juga berjuang untuk mempertahankan kehidupan dalam keadaan yang sangat keras.

Dengan lebih dari 45.000 nyawa yang telah hilang sejak dimulainya serangan Israel pada Oktober 2024, Gaza terus menderita dalam kesendirian. Setiap hari yang berlalu membawa kisah baru tentang kehilangan dan penderitaan yang harus ditanggung oleh penduduk Gaza, terutama oleh bayi-bayi yang belum memiliki kesempatan untuk hidup dengan damai. Dalam tragedi ini, kebutuhan akan bantuan kemanusiaan yang segera dan efektif sangat mendesak untuk membantu menyelamatkan nyawa dan memberikan perlindungan yang sangat dibutuhkan oleh para pengungsi. Sebagai dunia internasional, kita tidak boleh tetap diam melihat penderitaan ini berlarut-larut, terutama bagi mereka yang paling tak berdaya – bayi-bayi yang menjadi korban kebiadaban perang dan cuaca yang ekstrem.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *