tauaja.com

Opini

Kisah Gaza yang Menolak Tunduk Pada Penindasan

Published

on

Kisah Gaza yang Menolak Tunduk Pada Penindasan
Keberhasilan operasi ”Badai Al-Aqsa” yang dilancarkan Hamas pada 7 Oktober 2023 pukul 06.30 akan dikenang sepanjang masa

Perjanjian gencatan senjata yang bertujuan menghentikan perang brutal yang melibatkan Gaza telah menjadi penegasan kembali komitmen tanpa kompromi dari kelompok perlawanan terhadap doktrin di mana hanya ada dua tujuan: menang atau syahid. Dalam paradigma ini, menyerah bukanlah pilihan. Hingga napas terakhir, kehormatan tetap dijaga.

Ideologi ini, yang berakar secara mendalam pada perlawanan Imam Hussein (AS) di Karbala berabad-abad lalu, menolak segala bentuk kezaliman. Dalam pandangan ini, mengibarkan bendera putih bukanlah tanda menyerah, melainkan simbol dari kain kafan yang telah membungkus ribuan martir Palestina selama lebih dari setahun terakhir—sekitar 47.000 korban, kebanyakan anak-anak dan wanita.

Di tengah reruntuhan Gaza, seorang pria yang diwawancarai oleh media lokal mengungkapkan kata-kata yang menggema dalam sejarah: “Gaza adalah Karbala. Karbala-nya Imam Hussein.” Pernyataan ini mencerminkan perjuangan tanpa henti rakyat Gaza, yang meski dikepung dan dibombardir, tetap teguh melawan kekuatan besar yang mencoba menundukkan mereka.

Dalam pertempuran yang berlangsung di Gaza, para pejuang Palestina menunjukkan keberanian luar biasa, melawan segala rintangan. Di daerah seperti Jabalia dan Beit Hanoun, tempat yang sengaja diisolasi oleh pasukan pendudukan untuk melemahkan penduduknya, perlawanan justru bangkit dengan kekuatan baru. Dalam satu minggu saja, banyak tentara rezim Zionis kehilangan nyawa mereka, menunjukkan bahwa kekuatan tidak hanya diukur dari jumlah, tetapi dari semangat yang membara.

Rezim Israel, yang dikenal dengan kekejaman militernya, menggunakan strategi yang tidak manusiawi untuk memaksa rakyat Palestina menyerah, termasuk memblokade makanan dan kebutuhan dasar lainnya. Namun, alih-alih menyerah, Gaza justru memperlihatkan bahwa keberanian dan solidaritas dapat mengalahkan kebrutalan.

Operasi besar yang direncanakan Hamas, yang dikenal sebagai Badai Al-Aqsa, adalah bukti nyata dari kemampuan strategis perlawanan Palestina. Dalam perencanaan yang dirahasiakan selama setahun, operasi ini berhasil mengguncang ilusi keunggulan militer dan intelijen Israel pada 7 Oktober 2023. Bahkan sekutu seperti Iran, Hezbollah, dan kelompok perlawanan Irak tidak diberi tahu sebelumnya, menunjukkan tingkat disiplin dan kerahasiaan yang luar biasa.

Reaksi terhadap operasi ini tidak hanya datang dari Gaza. Hezbollah, sebagai bagian dari Poros Perlawanan, segera membuka front militer di Lebanon sebagai bentuk solidaritas. Pengorbanan yang dilakukan oleh pasukan elit seperti Radwan Force menunjukkan komitmen tanpa batas untuk mendukung perjuangan Palestina. Dalam kata-kata Sayyed Hassan Nasrallah, pemimpin Hezbollah, menolak tawaran keamanan dari AS yang mengabaikan penderitaan Palestina adalah bentuk keberanian yang menolak kompromi.

Di sisi lain, Iran menunjukkan kekuatannya melalui operasi True Promise, yang memberikan pukulan besar bagi rezim Zionis. Ketika serangan kedua Iran mengguncang Tel Aviv, respon Amerika Serikat yang terburu-buru mengerahkan sistem pertahanan rudal menunjukkan dampak besar dari serangan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa meskipun dikelilingi oleh ancaman, perlawanan tetap mampu memberikan pukulan strategis yang signifikan.

Yaman, yang sering dianggap sebagai negara paling miskin di kawasan, juga muncul sebagai pemain kunci dalam perjuangan ini. Dukungan tanpa syarat dari Ansarullah kepada Gaza menunjukkan solidaritas Arab yang sejati, berbeda dengan sikap pasif banyak negara Arab lainnya. Bahkan di tengah serangan udara dari koalisi AS, Inggris, dan Israel, Yaman berhasil memberlakukan embargo yang melumpuhkan terhadap kapal-kapal Israel. Serangan rudal hipersonik Yaman ke Tel Aviv dan fasilitas vital lainnya menunjukkan bahwa kekuatan tidak selalu ditentukan oleh kekayaan, tetapi oleh tekad.

Namun, di tengah semua ini, ketidakberdayaan negara-negara Arab lainnya menjadi sorotan. Liga Arab, yang bertemu di Bahrain, hanya mampu mengeluarkan pernyataan kosong yang meminta Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan perang. Upaya ini, yang sudah dapat diprediksi akan gagal karena veto Amerika Serikat, hanya memperlihatkan ketidakmampuan mereka untuk bertindak tegas.

Bayangkan jika negara-negara Arab yang kaya minyak menggunakan pengaruh mereka untuk memaksa perubahan. Mereka bisa membuka perbatasan Rafah di Mesir untuk memberikan bantuan kemanusiaan ke Gaza atau menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk menekan negara-negara Barat. Tetapi, alih-alih bertindak, mereka memilih untuk diam. Dalam ironi yang tajam, suara dari para pejuang seperti Abu Obeida, juru bicara Brigade Al-Qassam, lebih didengar oleh dunia Arab dibandingkan pemimpin mereka sendiri.

Di balik semua ini, sosok seperti Haj Qassem Soleimani, komandan legendaris anti-teror, tetap menjadi simbol inspirasi. Meskipun telah gugur, warisannya tetap hidup dalam setiap langkah perlawanan melawan penindasan. Dalam pandangan mereka yang berjuang, kemenangan tidak hanya diukur dari hasil akhir, tetapi dari keteguhan untuk tidak pernah tunduk.

Selama lebih dari setahun, Gaza menjadi medan perang yang tidak hanya melibatkan senjata, tetapi juga ideologi. Perlawanan tidak hanya melawan pendudukan fisik, tetapi juga melawan narasi yang mencoba mereduksi perjuangan mereka menjadi sekadar konflik regional. Bagi mereka, ini adalah perjuangan untuk keadilan, martabat, dan kebebasan.

Ketika debu pertempuran akhirnya mereda, jelas bahwa gencatan senjata ini bukanlah tanda kelemahan, tetapi pengakuan bahwa pendudukan telah gagal mencapai tujuannya. Rezim Netanyahu, yang terhuyung-huyung di bawah tekanan internal dan eksternal, menjadi simbol dari sistem yang rapuh. Sementara itu, Poros Perlawanan terus membuktikan bahwa solidaritas dan keberanian dapat mengatasi bahkan musuh yang tampaknya tak terkalahkan.

Dalam dunia yang sering kali terpecah oleh kepentingan, perjuangan Gaza mengingatkan kita bahwa ada nilai-nilai yang melampaui politik dan ekonomi. Ini adalah kisah tentang manusia yang menolak untuk menyerah, yang memilih untuk berdiri teguh meskipun menghadapi kehancuran. Gaza telah menulis bab baru dalam sejarah, sebuah epik yang akan dikenang sebagai simbol keberanian dan keteguhan melawan segala bentuk penindasan.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *