tauaja.com

Blog

Waspada Megathrust di Selat Sunda: Pentingnya Mitigasi dan Kesiapsiagaan Menghadapi Potensi Tsunami

Published

on

Waspada Megathrust di Selat Sunda: Pentingnya Mitigasi dan Kesiapsiagaan Menghadapi Potensi Tsunami

Seiring dengan terus meningkatnya perhatian terhadap potensi bencana alam di Indonesia, salah satu topik yang belakangan menjadi sorotan adalah kemungkinan terjadinya gempa megathrust di selatan Pulau Jawa, khususnya di sekitar Selat Sunda. Peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nuraini Rahma Hanifa, menyarankan agar masyarakat lebih waspada terhadap bencana yang bisa datang kapan saja. Rahma mengingatkan, gempa besar seperti yang terjadi di Aceh pada 2004 bisa terjadi lagi, apalagi mengingat potensi megathrust yang ada di wilayah tersebut. Tsunami yang dihasilkan oleh gempa megathrust ini bisa menjalar hingga ke Jakarta dalam waktu yang cukup cepat, hanya sekitar 2,5 jam setelah kejadian.

Dalam beberapa riset yang dilakukan oleh BRIN, ditemukan bahwa segmen megathrust yang ada di sepanjang selatan Jawa, termasuk Selat Sunda, menyimpan energi tektonik yang sangat besar. Jika energi ini dilepaskan, bisa memicu gempa dengan kekuatan sangat dahsyat, yaitu dengan magnitude 8,7 hingga 9,1. Guncangan gempa yang dihasilkan oleh peristiwa ini berpotensi menciptakan tsunami besar, yang dapat melanda wilayah pesisir di sekitar Selat Sunda, bahkan Jakarta, dengan waktu kedatangan yang singkat. Simulasi yang telah dilakukan oleh tim BRIN bersama berbagai institusi juga memperkirakan bahwa jika tsunami benar-benar terjadi, ketinggian gelombang yang muncul bisa sangat tinggi. Di pesisir selatan Jawa, tinggi gelombang bisa mencapai 20 meter, sementara di Selat Sunda, ketinggiannya bisa antara 3 hingga 15 meter. Untuk wilayah pesisir utara Jakarta, ketinggiannya bisa mencapai sekitar 1,8 meter.

Rahma menambahkan, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kejadian serupa telah terjadi dalam sejarah Indonesia, seperti tsunami yang melanda Pangandaran pada 2006. Tsunami tersebut dipicu oleh sebuah marine landslide atau longsoran bawah laut yang terjadi di sekitar Nusa Kambangan. Fenomena serupa bisa kembali terjadi kapan saja, mengingat energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu. Ketika energi ini dilepaskan sekaligus, dampaknya bisa sangat luas, tidak hanya terbatas di pesisir selatan Jawa, tetapi juga di beberapa wilayah lainnya.

Mengingat ancaman tersebut, BRIN menekankan pentingnya mitigasi risiko melalui berbagai pendekatan yang bisa mengurangi dampak bencana. Pendekatan tersebut terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan non-struktural. Pendekatan struktural mencakup pembangunan berbagai infrastruktur penahan tsunami seperti tanggul, pemecah ombak, serta perencanaan ruang yang lebih baik di kawasan pesisir. Misalnya, penataan kawasan di sekitar pantai dengan memperhatikan jarak aman sekitar 250 meter dari bibir pantai bisa menjadi langkah penting dalam mengurangi risiko kerusakan akibat tsunami. Selain itu, juga penting untuk melakukan rehabilitasi ekosistem pesisir, seperti menanam mangrove atau pandan laut, yang berfungsi untuk meredam energi gelombang tsunami.

Di sisi lain, pendekatan non-struktural berfokus pada kesiapsiagaan masyarakat melalui edukasi dan pelatihan. Salah satu langkah yang sangat penting adalah simulasi evakuasi yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat harus diberikan pemahaman yang cukup tentang potensi bahaya tsunami, cara meresponsnya, serta bagaimana menggunakan sistem peringatan dini yang ada. Agar bisa berjalan efektif, jalur evakuasi harus jelas dan mudah diakses, terutama untuk wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi seperti Jakarta. Dengan kesiapsiagaan yang baik, diharapkan masyarakat bisa merespons dengan cepat dan selamat saat bencana terjadi.

Di Jakarta, tantangan tambahan muncul karena kepadatan penduduk yang sangat tinggi serta kondisi tanah yang rentan mengamplifikasi guncangan gempa. Untuk itu, retrofit atau penguatan struktur bangunan juga menjadi langkah mitigasi yang penting. Retrofit sangat berguna untuk memperkuat bangunan yang sudah ada agar bisa bertahan lebih baik saat terjadi guncangan kuat. Tanpa langkah ini, kerusakan besar dan korban jiwa yang masif bisa saja terjadi. Untuk kawasan industri seperti Cilegon, selain gempa dan tsunami, risiko kebakaran akibat kebocoran bahan bakar atau bahan kimia di pabrik juga menjadi perhatian utama. Hal ini dikenal sebagai secondary hazard, yang perlu diantisipasi dengan standar keselamatan yang ketat.

Rahma juga menjelaskan bahwa melalui penelitian paleotsunami, BRIN menemukan bahwa gempa megathrust di selatan Jawa memiliki periode ulang sekitar 400 hingga 600 tahun. Kejadian terakhir yang tercatat diperkirakan terjadi pada tahun 1699, yang berarti energi yang ada saat ini sudah sangat tinggi dan bisa berpotensi terlepas dalam waktu dekat. Tsunami Aceh yang terjadi pada tahun 2004 menjadi pelajaran berharga, menunjukkan betapa pentingnya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana untuk menyelamatkan nyawa manusia. Tidak ada yang bisa memprediksi dengan pasti kapan gempa atau tsunami akan terjadi, tetapi kita bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin agar dampaknya bisa diminimalisir.

Untuk itu, BRIN bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), BMKG, serta berbagai lembaga terkait lainnya terus bekerja sama dalam memperkuat sistem peringatan dini tsunami, terutama di kawasan Selat Sunda dan wilayah pesisir selatan Jawa. Dengan dukungan riset dan teknologi yang semakin berkembang, diharapkan upaya mitigasi bencana dapat dilakukan secara lebih sistematis dan efektif. Menghadapi potensi bencana alam yang tidak terduga seperti gempa megathrust dan tsunami memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya.

Dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat, Indonesia diharapkan bisa lebih siap menghadapi bencana yang mungkin terjadi di masa depan. Selain itu, pendekatan berbasis pengetahuan dan edukasi juga menjadi kunci agar masyarakat bisa lebih memahami risiko bencana dan tahu apa yang harus dilakukan untuk menghadapinya. Seperti yang diungkapkan Rahma, meskipun kita tidak bisa memprediksi kapan bencana akan terjadi, kita bisa selalu mempersiapkan diri dengan baik agar dampaknya bisa ditekan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, adaptasi, edukasi, dan kolaborasi adalah langkah-langkah yang sangat penting untuk mengurangi risiko bencana dan menyelamatkan nyawa di masa depan.

Sumber : CNBC Indonesia

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *