tauaja.com

Opini

PPN 12%: Beban Semakin Berat Untuk Rakyat Kecil

Published

on

PPN 12%: Beban Semakin Berat Untuk Rakyat Kecil

Tauaja.com – Ah, PPN 12 persen. Sebuah kebijakan yang sepertinya ditunggu-tunggu, namun lebih banyak menghadirkan tanya daripada jawab. Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani, dengan penuh percaya diri mengumumkan bahwa kenaikan tarif PPN ini akan “menjaga kesehatan APBN” dan merespon krisis global serta pandemi. Sebuah argumen yang terkesan begitu cerdas, namun sayangnya terkesan lebih seperti memaksa rakyat kecil untuk mendukung perekonomian, sementara yang besar—ya, yang mampu—diberikan pemutihan pajak. Sungguh sebuah kebijakan yang patut dibanggakan!

Kenaikan PPN yang pertama kali disetujui pada 2022 dari 10 persen menjadi 11 persen, kini melangkah lebih jauh ke angka 12 persen. Angka yang mungkin terasa ringan bagi mereka yang punya “jaringan” dalam dunia bisnis, tetapi sangat berat bagi mereka yang berjuang tiap hari untuk memenuhi kebutuhan pokok. Tentu saja, tidak semua barang dan jasa akan terimbas langsung oleh kenaikan ini—sejumlah barang kebutuhan pokok masih mendapat pengecualian, termasuk jasa keagamaan. Seperti yang dijelaskan dalam UU HPP, pelayanan spiritual, yang mungkin jadi penghibur bagi mereka yang lelah dengan hidup, tidak perlu dikenakan pajak. Mungkin karena, dalam pandangan pemerintah, Tuhan tidak membutuhkan pajak—tapi, tentu saja, rakyat kecillah yang harus membayar.

Tentu, tak bisa dipungkiri, ini adalah strategi jitu untuk mengumpulkan dana. Siapa yang lebih banyak memiliki aset tersembunyi di luar negeri? Ya, mereka yang berada di kelas menengah ke atas. Sementara rakyat kecil yang tak punya apa-apa hanya bisa pasrah menanggung beban lebih berat setiap kali belanja bulanan. Tak ada yang salah dengan harapan untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi sering kali, strategi ini lebih menguntungkan mereka yang sudah kaya raya. Inilah yang disebut sebagai ketimpangan pajak—di mana mereka yang seharusnya paling membayar pajak, justru diberikan kesempatan untuk melupakan pajak-pajak yang belum mereka bayar.

Dan apa yang terjadi dengan masyarakat yang selama ini taat pajak? Mereka yang tidak pernah melupakan kewajiban membayar pajak setiap tahun, yang sering kali kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, hanya bisa berteriak diam-diam. Harusnya, mereka yang patuh justru mendapat penghargaan lebih. Bukannya begitu?

Maka, kebijakan tax amnesty yang lebih condong menguntungkan kalangan menengah ke atas, sementara rakyat kecil kembali harus mengeluarkan lebih banyak uang, bisa dilihat sebagai salah satu cara memaksa rakyat kecil untuk menanggung beban negara, tetapi tidak pada kalangan yang lebih mampu. Memang, ini adalah kesempatan bagi mereka yang bersembunyi di balik aset yang belum dilaporkan. Dengan tarif ringan dan pemutihan sanksi, siapa yang tidak mau? Namun, bagi mereka yang sudah jujur membayar pajak selama ini, kebijakan ini justru terasa seperti pengecualian yang menyakitkan.

Jadi, apakah ini sebuah kebijakan yang adil? Tentu tidak. Apakah ini kebijakan yang efektif? Itu masih perlu dipertanyakan. Di atas semua itu, satu hal yang pasti: kebijakan ini perlu diiringi dengan pengawasan yang lebih ketat, bukan hanya terhadap rakyat kecil, tetapi juga terhadap “pengemplang besar” yang bisa saja kembali menghindari kewajiban pajaknya setelah tax amnesty ini berakhir. Jika tidak, maka kita hanya akan menjadi saksi dari kebijakan yang menciptakan ketimpangan, dan, tentu saja, kepercayaan rakyat terhadap sistem perpajakan yang semakin menipis.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *